
Pernyataan kontroversial Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, yang menyebut esports bukanlah cabang olahraga yang sah karena minim aktivitas fisik, menuai respons dari komunitas. Namun, fakta di lapangan menunjukkan sebaliknya. Beberapa cabang esports justru mengharuskan kebugaran fisik tinggi untuk bisa bersaing di level profesional.
Salah satu contohnya adalah Simulasi Racing, seperti Gran Turismo dan Wangan Midnight Maximum Tune. Kompetisi tingkat dunia seperti Gran Turismo World Series menuntut para atlet memiliki refleks cepat dan ketahanan fisik tinggi dalam mengendalikan simulator balap selama durasi panjang. Bahkan atlet Indonesia, Andika Rama, sempat tampil dalam ajang GAZOO Racing (GR) GT Cup Asia 2023.
Cabang lainnya adalah VR Esports yang mengandalkan teknologi Virtual Reality. Game seperti Orion Drift, Pavlov Shack, dan Breachers dipertandingkan dalam event internasional VRMLCON 2025 dengan hadiah mencapai 20 ribu USD. Atlet esports VR dituntut memiliki stamina dan kelincahan untuk bergerak dan menembak secara aktif dalam ruang virtual.
Tak kalah menarik, genre Rhythm Arcade seperti DanceDanceRevolution dan Pump It Up secara langsung menuntut aktivitas fisik tinggi. Atlet harus memiliki koordinasi serta stamina kaki yang prima untuk mengikuti irama permainan. Ajang seperti Feel the Beat 2025 dan World Pump Festival (WPF) membuktikan ketatnya kompetisi, bahkan atlet Indonesia pernah sukses meraih medali di ajang internasional ini.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa esports tidak selalu identik dengan duduk diam, dan beberapa cabangnya justru membutuhkan latihan fisik layaknya olahraga konvensional.